Wednesday, March 4, 2015

Dari Impian Jadi Kenyataan

Gue baru aja memikirkan hal serupa ketika gue membaca blog temen SMP gue, Sali yang saat ini jadi Pengajar Muda di daerah Putussibau dan dia menceritakan tentang cita-citanya disini

Seberapa dekat sih kondisi lo sekarang dengan cita-cita yang pernah lo bentuk sejak kecil? 

Source: Pinterest
 Dari kecil, gue pengin banget jadi astronot. Gak susah cari alasannya, karena waktu kecil gue sering baca-baca buku tentang tata surya yang ada di rumah. Gue juga kurang paham kenapa buku-buku semacam itu ada di rumah, yang jelas ketika gue lihat ke langit, bayangan gue adalah gue bisa berkunjung ke planet lain, dan bisa tinggal disana. 

Cita-cita itu diimpikan sampai gue lulus SD, dan di SMP gue berusaha melupakan karena ternyata gue kurang bisa berteman akrab dengan pelajaran Matematika dan Fisika, dan gue sadar, ternyata jadi astronot itu nggak sekedar cuma terbang ke luar angkasa tanpa bawa bekal ilmu apa-apa (kecuali lo jadi kelinci percobaan).

Pernah nggak sih lo mengalami sebuah pola pikir, dimana lo nggak punya ide apa-apa tentang hidup lo yang akan dibawa kemana? 

Yap, gue sempet mengalaminya ketika SMP dan SMA. Di masa itu gue hidup tanpa cita-cita dan hanya menjalani apa yang ada di depan mata. Di kelas 1 SMA, gue pernah mengikuti tes minat dan bakat, dan hasilnya gue cenderung masuk ke jurusan IPA atau Bahasa. Karena nilai rapor gue yang nggak memungkinkan untuk masuk ke jurusan IPA (Math, Fisika, Kimia jelek semua), maka gue disarankan orangtua untuk masuk ke IPS. Gue tahu kayaknya gue nggak bakat (dan nggak minat) di bidang itu. Anggapan kelas Bahasa yang masa depannya kurang jelas mungkin itu yang jadi alasannya. Padahal kan belum tentu ya. Gue pun masuk kelas IPS, sambil menjalani apa yang ada di hadapan gue sekarang. 

Sampai tibalah saat milih jurusan kuliah. 

Gue yang sangat 'nasionalis', alias suka dengan pelajaran sejarah, pelajaran PPKn yang nilainya lumayan, tiba-tiba terobsesi untuk masuk ke Fakultas Hukum. Nyoba untuk masuk universitas negeri sampai dua kali, ternyata nggak ada yang jebol. Waktu itu gue inget banget, usaha gue untuk dapetin FH emang nggak maksimal banget sih. Udah ikut bimbel tapi nggak serius, ikut tes juga malah sibuk merhatiin wartawan. Sehingga, Nyokap kecewa karena nama gue nggak ada di koran pengumuman SPMB, walaupun Bokap udah beli tiga koran terbitan berbeda. (yakali bisa muncul di salah satunya). 


Seberapa sering lo lebih banyak ambil plan B, C, D dan seterusnya ketimbang sukses mencapai plan A yang pernah lo punya?

Source: Pinterest
Waktu terus berjalan. Gue harus cari plan B, C, D dan seterusnya supaya nggak banyak buang waktu. Terbesit pikiran, "Oke, aku mau jadi designer aja!" dan masuklah gue ke institut seni ternama di Jakarta. Baru ikutan OSPEK satu kali, tiba-tiba gue dapat masukan dari kakak laki-laki gue, "Lo disitu mau lulus kapan? Mending out deh kalau emang beneran mau serius sekolah 4 tahun." LAH?

Pikir-pikir panjang, akhirnya beneran gue cabut dan school-less. Hahaha. Googling sana-sini ada satu kampus yang masih buka, plus nanya teman, akhirnya gue masuk ke sebuah sekolah tinggi komunikasi ternama di Jakarta, dan ya udah. Satu-satunya yang gue lakukan adalah menyetel pikiran, "yang penting gue kuliah ah."

Gue sekolah selama 4 tahun, dan mengambil jurusan yang paling gue banget diantara semua pilihan, yaitu Periklanan. Waktu itu gue juga masih bingung nanti kerjanya mau ngapain karena gue nggak mau masuk agency, dan di tahun 2011 dengan nilai lumayan. 


Kata orang, lo baru bisa fokus mikirin masa depan ketika usia 20an. 

Iya bener sih, gue mulai fokus mikirin cita-cita gue ketika gue udah mulai kerja serius di perusahaan swasta. Kata orang juga, momen kerja pertama kali itu adalah momen lo menyerap ilmu (dan keringat) sebanyak-banyaknya. Sampai merasa pengetahuan gue udah cukup, gue mencoba untuk ambil jalan pencarian kerja yang paling konservatif di Indonesia: mencoba untuk mengajukan diri bekerja di pemerintahan. 


'___'

Nggak salah? Ya nggak tahu salah atau bener sih, tapi gue beneran nyoba di tahun 2013 di tujuh instansi sekaligus, dan ternyata nggak ada yang tembus satupun. Betapa down-nya gue saat itu, dengan ambisi besar yang mengggebu-gebu, dan ternyata kenyataan nggak selaras dengan harapan gue. 

Tapi gue percaya satu hal, bahwa mimpi itu layaknya tumbuhan yang bisa diperlakukan dengan dua hal: membiarkannya mati, atau memupuk dan merawatnya sampai mimpi lo bener-bener tumbuh dengan kuat dan besar. 

Gue tentunya sudah bosan bermain-main dengan hidup tanpa tujuan. Gue pilih untuk memelihara mimpi itu jadi kenyataan. Tapi bukan dengan ambisi tanpa strategi, melainkan dengan tekad yang bulat serta keseriusan yang bertanggung jawab. (maafkan bahasaku yang berlebihan ini). 


Dan di tahun 2014, gue kembali berjuang. 

Ketika pemerintah menetapkan bahwa satu orang hanya boleh mendaftarkan diri pada satu instansi, gue mulai mengatur strategi, memilih instansi mana yang peluangnya lebih besar. Tapi lagi-lagi strategi itu mental ketika ada pertanyaan, "nggak ada instansi yang lebih terkenal, yah Mon?" Gubrak. 

Jatuhlah gue pada sebuah pilihan sambil "ah bodo amat deh mau yang mane" sambil gue terus-terusan fokus belajar dengan buku-buku setebal gajah. 

Tes pertama, lolos walaupun sempat terjadi tragedi salah print kartu sehingga gue harus cari-cari rental print. But thank God, He helped me in His own way!

Tes kedua, dengan ketidaktahuan materi bahan ujian, gue layaknya orang bingung yang nggak ngerti gimana cara menjawab pertanyaan sulit bin auk ah gelap ini. 

Nah disini letak serunya. Ketika satu sesi berisi tentang performance test, dimana kita dites untuk menunjukkan performa diri melalui public speaking dan share pengalaman kerja, gue baru sadar, bahwa apa yang gue jalankan selama ini udah disesuaikan banget untuk jualan kualitas diri di depan para penguji. Gue secara lancar menceritakan tentang pekerjaan gue sekarang, tentang kegiatan gue di kampus dulu, dan tentang tujuan gue untuk membangun negara bersama instansi ini (serius, ini gue gak bullshit). Serius deh, kadang gue gemes dengan bad image yang sering diterima oleh pegawai-pegawai ini. Gue pengin mengabdi buat orang banyak, bukan sekedar enak-enak pake fasilitas negara. 

Dan tepat pada tanggal 12 Februari, gue resmi dinyatakan lulus sebagai pegawai di DKI. 

Sesederhana itu cita-cita gue? Mungkin. 

Di umur 25 tahun ini, mungkin gue udah nggak bisa lagi yang namanya mau nerusin cita-cita yang sempat lewat (mau jadi designer lah, mau kerja di kedutaan lah), gue cuma berusaha untuk memenuhi apa yang Nyokap gue mau, dan ternyata memang sesederhana itu sih. 

Saat ini gue masih sering flashback, membayangkan apa yang terjadi jika gue dulu menjalankan sekolah seni,  sekolah hukum, terus jadi apa gue sekarang, Apakah bisa gue sampai di titik gue yang sekarang? 

Yang jelas, setelah apa yang gue jalankan selama ini, gue baru benar-benar sadar, bahwa dibawah kendali Yang Punya Kehidupan, Dia sudah menentukan proses apa yang harus gue lewati untuk jadi apa yang sesuai gue ingini, yang sejalan juga dengan kehendakNya. 


Terimakasih, Tuhan!



ditulis dengan ucapan syukur atas terkabulnya Doa Novena Hati Kudus Yesus.

No comments:

Post a Comment