Thursday, August 30, 2012

Bapak, Yesus, dan Pedalaman Papua (dalam rangka 2 tahun berpulangnya Bapak)

Halo guys.. nggak terasa yah, ternyata Pak Yono alias Bokap gue udah nggak ada sejak 2 tahun yang lalu. Tempo hari gue iseng liat-liat koleksi buku Bapak, dan gue menemukan sebuah buku yang isinya kisah-kisah panggilan guru, salah satunya ada cerita beliau juga. Sebenernya ini cerita agak nyangkut ke soal rohani sih, cuma pengalaman Bapak yg kayaknya seru bgt waktu di Papua ini bisa jadi inspirasi buat para calon-calon pengajar khususnya buat teman-teman yang mau daftar jadi Pengajar Muda. Monggo dibaca..

Tri Komando Rakyat (TRIKORA) mengawali saya meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah sendiri. Saat itu tepatnya di bulan September 1963, saya mendapat surat keputusan untuk ambil bagian dalam kegiatan Trikkora yang dikumandangkan oleh Bapak Presiden RI pertama yaitu Ir. Soekarno. Entah apa alasannnya yang mendorong saya untuk ikut Trikora waktu itu. Pada mukanya setelah lulus Sekolah Guru Atas (SGA) tahun 1963, diam-diam saya mengirim surat permohonan untuk mendaftarkan diri dalam program Trikora. Tanpa berharap untuk diterima, hanya sekedar coba-coba saja, saya masukkan sura tersebut di box surat di pinggir alun-alun kota Purworejo. Sebelas hari kemudian, saya menerima panggilan untuk segera berangkat ke Jakarta setelah mengurus dan menyelesaikan surat-surat yang diperlukan. Hari berikutnya saya berangkat meninggalkan kampung halaman tercinta.

Di tengah perjalanan, saya mencermati dan menyadari bahwa panggilan itu berasal dari Majelis Wali Gereja Indonesia (yang sekarang menjadi Konferensi Waligereja Indonesia). Panggilan itu untuk menjadi guru di Irian Barat, yang sekarang bernama Papua.

Setelah sekian hari di Jakarta, akhirnya saya diberangkatkan menuju Surabaya sampai di Makasar. Kemudian melanjutkan pelayaran sampai di Sorong, kemudian Manokwari melewati Biak dan sampai di Merauke. Setiba di Merauke, saya diterima dan ditampung di hotel. Selama disitu, saya mendapat perhatian dari Romo Harjo Sumarto MSC serta para suster yang sudah berkarya disana. Dan untuk mengetahui tugas saya kelak akan ditempatkan dimana, saya menunggu undian tempat yang akan diundi. Tempat-tempat itu antara lain di Tanah Merah, Mindiptama, dan Asmat. Dijelaskan bahwa masing-masing tempat mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Setelah diundi, ternyata saya mendapat tempat tugas di daerah Asmat yang berpusat di Agats. Pada waktu itu dari informasi terbatas yang saya ketahui, daerah ini dikenal dengan orang makan orang dan itu sangat membuat saya ngeri. Penduduk Asmat umumnya belum berpakaian. Romo Hardjo Sumarto MSC berpesan pada saya supaya berhati-hati di tempat tugas yang baru. Beliau memberikan pada saya sehelai kertas yang berisi doa, sambil berkata "Ingatlah, Yesus yang mendampingi!"

Pda waktu itu saya bingung, seraya was-was bertanya dalam hati apa yang akan terjadi nanti terhadap saya. Hari berganti hari terus berjalan, dan apa yang semula saya kuatirkan menjadi kenyataan. Umumnya penduduk desa disana masih primitif, orang-orangnya sebagian besar tidak berpakaian. Masih terjadi orang makan orang, anak-anak mereka pun jarang mandi (lah, anak Bapak juga jarang mandi! hehe -Monik). Orang dewasa sekedar menggunakan rumbia dan koteka untuk sekedar menutupi bagian utama mereka. Di tengah kehidupan mereka semacam itu, saya harus tinggal bersama mereka menjalankan tugas selama di Irian Barat selama lima tahun. Banyak suka-duka, pengalaman mengelikan, mengerikan, ditambah kebingungan dengan tata cara hidup mereka.

Dari daerah Agats, saya dikirim lagi ke suatu tempat yang bernama Ewer. Ada pengalaman yang mengejutkan sekaligus mengharukan pada saat tiba di daerah ini. Kedatangan saya di Ewer disambut orang dewasa dan anak-anak tanpa pakaian. Dan saya langsung digendong, diarak ramai-ramai di tengah mereka. Bayangkan, betapa aroma badannya yang jarang mandi, yang sudah barang tentu baunya....... Saya tidak tahu dan tidak mengerti bahasa mereka, namun beruntungnya ada orang setempat yang bersedia menjadi juru bahasa untuk saya.

Tugas saya disitu adalah mengajar pelajaran sekolah umumnya dan pelajaran agama, padahal saat itu saya belum Katolik. Saya mengajar agama berpegang pada buku yang diberikan Pastor Miller OSC dari Amerika Serikat yang berkarya di daerah itu. Pastor mengatakan pada saya, "Bapak harus bisa mengajar agama, karena Bapak seorang guru." Tugas saya lainnya selama di daerah ini selain mengajar yaitu menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan. Seperti yang saya lakukan: memberi obat kepada mereka yang sakit, melerai orang-orang bila terjadi perkelahian diantara mereka. Bayangkan bagaimana meleraikan orang yang berkelahi, sedangkan saya tidak tahu bahasa mereka. Pengalaman unik tatkala meleraikan perkelahian antara mereka. Pada waktu mereka berkelahi saling memukul, saya menancapkan sebatang kayu yang ujungnya dipasang bendera merah-putih. Anehnya begitu kayu berbendera merah putih saya tancapkan, mereka tanpa banyak kata pulang ke rumah maising-masing.

Setelah satu tahun lamanya saya bertugas di daerah Ewer, Pastor Miller OSC menawarkan untuk membaptis saya. Namun saya menolak dengan alasan saya belum belajar agama Katolik untuk baptisan. Eh Pastor ini mengatakan kepada saya: "Bapak tidak usah belajar, karena Bapak kan juga sebagai guru agama." Akhirnya saya dibaptis Katolik oleh Pastor Miller OSC.

Lima tahun saya sudah lalui dan saya mendapat surat bebas tugas untuk kembali ke Jakarta. Setiba di Jakarta, saya belum ditempatkan lagi di daerah yang baru, akhirnya saya melamar menjadi guru di Yayasan Budi Mulia. Tahun1983, saya meninggalkan Yayasan Budi Mulia karena ditempatkan di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sedang sore harinya saya mengajar di Sekolah Swasta umum bidang studi umum. Dan empat tahun lalu saya diminta mengajar agama oleh sekolah yang sama. Saya tidak dapat menolaknya karena tidak ada guru lain yang Katolik. Untuk menambah pengetahuan keagamaan dan wawasan tambah guna mengajar agama, saya kerap mengikuti pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan keuskupan.

"Sesungguhnya sulit bagi saya untuk menjadi guru agama, karena pengetahuan yang minim, latar belakang keguruan saya bukan agama. Namun setelah proses perjalanan mengajar dan pengalaman bersama anak-anak dalam menyampaikan pelajaran agama, kesulitan itu dirasa berkurang. Entah sampai kapan saya menjadi guru agama. Saya merasakan selama menjadi Katolik, Tuhan Yesus senantiasa mendampingi dan memberikan rahmatNya pada saya. Khususnya saya diberi kesempatan bertugas menebarkan benih-benih kristiani di hadapan anak-anak yang beranekaragam latar belakangnya."

YOU DID IT PERFECTLY FATHER! I AM A PROUD DAUGHTER!
miss you soooooooo much!

Love, your jarang-mandi daughter.

1 comment:

  1. How to make money with the Best Way to Earn Money from Playing Slots
    When it comes to playing slots online, we have everything you need to make a living, หาเงินออนไลน์ Some people, such as some people who like to play slot games

    ReplyDelete